IMRU’UL
QAIS
Oleh :
Khotimatus Sa’adah, Aisyah, dan Muhammad Abdirrahman
I.
PENDAHULUAN
Studi tentang bahasa Arab
memang terasa kurang, manakala tidak diikuti dengan studi tentang para ahlinya
atau para tokohnya, sebagaimana studi tentang sastra juga memerlukan kajian
tentang para tokoh sastra. Dalam hal ini, tidak sedikit tokoh bahasa Arab
yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian.
Menurut pandangan bangsa
Arab syi’ir adalah sebagai puncak keindahan dalam sastra. Sebab syi’ir itu
adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan
keindahan gaya khayal. Karena itu bangsa Arab lebih menyenangi syi’ir
disbanding dengan hasil sastra lainnya.
Para penyair pada zaman
jahiliyah mewakili kelas terdidik (intelegensia), sehingga para penyair pada
masa itu menempati derajat yang tinggi. Para penyair di mata orang Arab pada
zaman jahiliyah menempati posisi para Nabi bagi para umatnya.
Salah satu penyair
jahiliyah yang terkenal dengan syi’irnya adalah Imru’ul Qais, yang mana akan
kami paparkan pada makalah ini dengan rumusan masalah sebagaimana berikut:
siapakah Imru’ul Qais itu? Bagaiamanakah letak kesusastraan
syi’irny-syi’irnya ketika menggambarkan
kudanya? Bagaimana cara Imru’ul Qais mengungkapakan perasaannya? Bagaimana
luapan emosi pada syi’ir tersebut?
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Imru’ul Qais
Penyair ini memiliki nama lengkap Imru’ul Qais bin Hujrin bin al-Harits
al-Kindi, dan berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa
penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman
(Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari
Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan
abad ke-5 Masehi.
Nama penyair ini sangat mulia karena dia anak seorang raja Yaman yang
bernama Hujur Al Kindy, raja dari kabilah Bani Asad. Dari segi nasab ibunya
penyair ini anak fatimah binti Rabi’ah saudara Kulaib dan muhalhil Taghlibiyah putra
dari Rabi’ah, dua perwira Arab yang amat terkenal dalam peperangan Al Basus,
segi nasab ini sangat berpengaruh sekali terhadap kepribadian penyair ini.
Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed kalangan bangsawan yang gemar
berfoya foya. Kebiasaan penyair ini sering bermain cinta mabuk dan melupakan
segala kewajibannya sebagai anak raja yang harus pandai mawas diri dan berlatih
memimpin masyarakatnya. Karena itulah penyair ini sering dimarahi ayahnya
bahkan akhirnya ia diusir dari istana, disebabkan olah buruk perangainya.
Selam dalam pembuangan penyair ini sering pergi mengembara kesegala
penjuru jazirah arabia untuk menghabiskan waktunya dengan orang badui. Orang
orang badui ini gemar sekali untuk mengikuti Imru’alqays karena mereka
disamping butuh harta Imru’ al Qays, juga mereka butuh akan kekuatan kekuatan Imru’
al Qays untuk menghadapi lawan mereka.
Sampai pada suatu tempat
yaang bernama dammun disitu Imru al Qays mendengar berita duka, kematian
ayahnya yang dibunuh oleh bani asad karena kediktatorannya.
ضيعني صغيرا, وحملني دمه كبيرا, ولاصحو اليوم ولا
سكر غدا, االيوم خمر, وغدا أمر
“ ketika kecil aku
disia-siakan bapakku, namun ketika aku besar aku harus menanggung balas dendam atas
kematiaanmu. tidak ada kesadaran hari ini dan tidak ada mabuk besok, hari ini
khomer besok adalah waktu balas dendam.”
sejak hari itu Qays
bersumpah tidak makan daging dan tidak minum khamr serta tidak menyisir rambut
sebelum membunuh 100 orang dari bani asad dan 100 orang yang bersekongkol
dengan mereka. Esok harinya dia minta bantuan pada familinya kabilah taglib dan
bakar. Kemudian menyerang bani asad membunuh sebagian besar dari mereka. Ketika
qais menginginkan kemenangan lebih, para sekutu mulai meninggalkanya. Qays kemudian mencari bantuan kesan kemari,
akhirnya minta perlindungan kepada samuel ibn adi pemimpin kabilah yahudi, dan
menitipkan kepadanya harta pusakanya, kemudian mengembara keromawi mencari bantuan.
Ketika sampai keromawi raja romawi waktu
itu gustinian tertarik dengan qais dan ingin menjadikanya kaki tangannya di
negeri arabdan memberikan bantuan. Ketika menyiapkan balatentara ada informasi
negatif tentang qais. Justru gustian memberi qais baju perang yang penuh dengan
racun. Ketika sampai diangkara racun ditubuh qais semakin mengganas sehingga
qais meninggal disana.[1]
B.
Syi’ir Imru’ul Qais
Syi’ir Imru’ul Qais
merupakan sy’ir yang terkenal pada masa kasusastraan Arab Jahiliyah. Syi’irnya
yang begitu indah banyak digunakan acuan sebagai contph dalam pembelajaran
ilmu-ilmu ‘arabiyah misalny nahwu, sharaf, balaghah.
Terdapat berbagai macam bentuk syi’ir yang
diungkapkan Imru’ul Qais, mulai dari bentuk percintaan, kesusahan,
menggambarkan suatu kejadian, dan lain-lain. Tetapi pada makalah ini hanya akan
mengupas syi’ir Imru’ul Qais ketika beliau menggambarkan kudanya dengan
ungkapan yang begitu indah, adapun syi’irnya adalah sebagaimana dibawah ini:
وقد أغْتَدى والطَيرُ في وُكُناتِها # بمُنْجَرِدٍ قَيْدِ، الآوابدِ هـَـيْكلِ
Pagi pagi aku sudah
pergi berburu saat itu burung burung masih tidur disangkarnya #
Mengendarai kuda yang
bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang
berlari kencang
مِكَرٍّ مِفَرٍّ، مُقْبِلٍ، مُدْبِرٍ معًا # كجلمودِ صَخرٍ حطّه السيلُ من عَلِ
Maju dan mundur
bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan #
Seperti batu besar yang
runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi
كُمَيْت يَزِلُّ
اللّبد عن حال متنه # كما زَلَّتِ
الصفواءِ بِالْمُتَنَزٍّل
Gagah
berani dengan disertai bulu yang tebal dengan pelana yang ada dipunggungnya #
Sebagaimana tergelincirnya
batu keras.
مِسَحٍّ إذا ما
السَّابِحَاتُ على الونى # أَثَرْنَ الغُبَارَ بالكيدِ المُرَكَّلِ
Tiada daya seperti kapal
berlayar yang dengan aliran air membentuk banyak percikan-percikan #
Dampak
sepakan kakinya, bumi yang padatpun
diselimuti debu
يُزِلُّ الغُلام الخِفَّ عن صَهـَــوَاتِه # ويُلْوِى بأَنْوَابِ
العَنيفِ المُثقَّل
Pemuda yang kurus akan
kesulitan duduk dipelananya #
Sebagaimana orang yang
kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya
دَرِيْرٍ كَخُذْرُوفِ الوليد أمرَّهُ #
تتابُعُ كَفَّيْهِ بِخَيْطٍ مُوَصَّلٍ
langkahnya bagaikan gangsing
seorang anak laki-laki#
Yang dimainkan dengan kedua
telapak tangannya secara berurutan dengan benang yang menyambung
لَهُ أيْطَلا ظَبى وسَقَا نعامَةٍ # وإرخاءُ سِرْحَانٍ وتَقْرِيْبُ تَنْفُلٍ[2]
Pinggang seperti
pinggang rusa, kakinya panjang dan keras seperi kaki burung unta #
Kalau berlari ringan
seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya
bagai larinya serigala liar.
C.
Analisis
Muatan Sastra
a.
Tujuan
dan perihal ( الغرض و المناسبة )
Setiap ungkapan pasti terdapat tujuan dan perihal. Pada
Syi’ir Imru’ul Qais diatas mempunyai tujuan dan perihal sebagaimana berikut ini
:
pada bait pertama
tujuan syi’irnya adalah mengandung washf, yakni penggambaran suatu kejadian menarik. Sedangkan
munasibahnya adalah ketika seorang tersebut pergi berburu dengan mengendarai
kuda dengan gesitnya mampu mengejar binatang buas yang berlari kencang.
Pada
bait kedua masih mengandung tujuan yang sama, pada cuplikan puisi
tersebut adalah tentang kejadian menarik yang menggambarkan seekor kuda yang
bergerak secepat kilat. Sedangkan munasibahnya adalah saat kuda tersebut
berlari, diibaratkan larinya kuda tersebut seperti batu besar yang runtuh
terbawa banjir dari tempat tinggi.
Pada
bait ketiga juga masih berbentuk washf, yakni kudannya diibartkan
dengan tergelincirnya batu bersar. Adapun munasibahnya berawal dari bentuk kuda
yang gagah, pemberani, berbulu tebal, dan disertai pelana yang ada
dipunggungnya, sehingga Imru’ul qais mengibaratkan seperti tergelincirnya baru
keras, dimana suatu batu keras krtika tergelincir adalah sebuah sosok yang
kelihatan menakutkan dan langsung tergilincir begitu aja tanpa memandang yang
ada dikanan kiri.
Bait
keempatpun bebentuk washf, kerena menggambarkan seperti kapal
berlayar yang dengan aliran air membentuk banyak percikan-percikan dan bumi
yang padatpun terselimuti debu. Hal ini karena pada syi’ir ini munasibahnya
ketika berlari lengkukan tubuhnya seakan-akan tanpa daya begitu lemah gemulai
disertai dengan langkah kakinya yang membawakan debu disekitar.
Demikian
juga pada cuplikan puisi Imru’ul Qais kelima masih mengadung washf
yaitu ungkapan akan sulitnya mengendarai
kuda. Munasibahnya yaitu ketika seseorang yang kurus, kasar ataupun gemuk maka
tidak dapat dengan mudah untuk menunggani kuda tersebut karena akan kesulitan
duduk dipelananya bagi yang kurus dan akan susah merapikan bajunya bagi yang
kasar maupun gemuk.
Pada
bait keenam juga masih sama yakni wasfnya berupa gangsing seorang
anak laki-laki, dan munasibahnya adalah kuda tersebut jika melaju cepat kakinya seperti gangsing seorang anak
laki-laki yang dimainkan dengan kedua telapa tangangganya secara berurutan
dengan benang yang menyambung.
Adapun
mengenai cuplikan puisi yang ketujuh juga masih bercerita tentang
keindahan akan kuda tersebut dan cirinya.
Sedangkan munasibahnya adalah masih dalam saat ketika seekot kuda
tersebut berlari, larinya seperti srigala yang begitu gesit ketika saat berlari.
b.
Analisis
Kata ( التحليل اللغوى )
Untuk memahami syi’ir di atas, terlebih dahulu
harus bisa memahami maksud dari penulis syi’ir itu. Adapun untuk memahami
syi’ir tersebut maka kami menggunakan syarah dari kitab Syarah al-Mu’allaqot
as-Sab’ yang dikarang oleh Abi Abdillah
Husain bin Ahmad Azzauzani, sebagaiamana berikut ini:
Pada
ba’it pertama;
i.
kata أغتدى berasal dari kata غدا (esok hari) – يغدو - غدوًا, dan أغتدى adalah bentuk mufrod dari kata اغتداء, sehingga أغتدى diartikan dengan “pagi-pagi aku”.
ii.
Kata الوكنات sama dengan مواقع الطير yang berarti sarang burung.
iii.
Kata الأوابد sama dengan الوحوش yang berarti binatang buas.
iv.
kata الهيكلmenurut
ibnu darbit artinya الفرس العظيم الجرم (kuda
besar yang sering melakukan kesalahan).
Ba’it
kedua;
i.
Kata الكر dan الكرور yang berarti الرجوع (kembali lagi secara berulang-ulang), sehingga disini kami
mengartikan maju dan mundur.
ii.
Kata الجلمود والجلمد sama dengan الحجر العظيم
الصلب
yang berarti
batu besar yang padat.
iii.
kata الصخر sama dengan الحجر yang artinya batu.
iv.
حط maksudnya
إلقاء الشيء
من علو الى أسفل (membawa sesuatu dari ketinggian sampai kebawah),sehingga kami
mengartikannya “runtuh”.
Ba’it
ketiga;
i.
Kata الصفواءِ diartikan sebagai الحجر الصلب (batu keras).
ii.
Kata الحال maksudnya adalah tempat duduk pengendara kuda yang ada di
punggung kuda.
Ba’it
keempat;
i.
سح, يسح mempunyai makna صبّ, يصب yang berarti menuangkan
ii.
الكديد artinya الأرض الصلبة المطمئنة (bumi padat yang menentramkan hati)
iii.
الركل artinya الدفع بالرجل و الضرب بها (menyepak dengan kakinya)
Ba’it
Kelima;
i.
Kata الخف sama dengan الخفيف yang artinya ringan, sehingga sesuai dengan konteks di atas
maka kami mengartikanya “kurus”.
ii.
Kata الصهوة (punggung kuda) artinya مقعد الفارس من
ظهر الفرس (tempat duduk pengendara kuda
yang berada di punggung kuda), dan jika di jama’kan menjadi الصهوات, sehingga kami mengartikannya
dengan sebutan “pelana”.
iii.
kata العنيف kabalikan dari kata الرفيق (lemah lembut)
sehingga العنيف mempunyai
arti kasar.
Ba’it Keenam;
Kata الدرير berasal dari درّ, يدر , yang artinya berurutan, sehingga jika disesuaikan dengan
syi’ir diatas kami artikan dengan “langkah”,
Ba’it
ketujuh;
i.
Kata الأيطل dan الأطل sama dengan الخاصرةyang artinya pinggang.
ii.
Dan kata الإرخاء artinya ضرب منعدو الذئب
يشبه خبب الدواب (berlari ringan dengan menekan seperti larinya srigala).
iii.
kata السرحان sama dengan الذئب artinya serigala
iv.
kata التقريب artinya وضع الرجلين موضع
اليدين في العدو maksudnya berlari kencang
mengangkat kedua kaki depannya.
c.
Pemilihan
Gaya Bahasa ( الصور البلاغة )
Imru
al-Qais menggambarkan kudanya dengan ungkapan gaya bahaya sebagai berikut :
1)
Penyerupaan ( التشبيه )
Tasybih
menurut ahli bayan adalah suatu istilah yang di dalamnya terdapat
pengertian penyerupaan atau perserikatan antara dua perkara (musyabbah
dan musyabbah bih).
Tasybih termasuk
uslub bayan yang didalamnya
terdapat penjelasan dan perumpamaan. Tasybih
merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk
menjelaskan sifat. Dengan Tasybih, maka
kita dapat menambah ketinggian makna dan kejelasannya serta juga dapat membuat
makna tampak lebih indah dan bermutu.
Suatu ungkapan
dinamakan Tasybih jika memenuhi
syarat-syarat dalam unsur-unsurnya. Sebuah Tasybih harus
memenuhi unsure-unsur berikut:
a.
Musyabah, yaitu
sesuatu yang hendak diserupakan.
b.
Musyabah bih, sesuatu yang diserupai, kedua unsur ini
disebut Thorafai Tasybih (kedua
pihak yang diserupakan).
c.
Wajh al-Syibh,
yaitu sifat yang terdapat pada kedua pihak itu.
Bentuk tasybih pada syi’r Imrul al-Qoisy
di atas adalah sebagai berikut:
·
مكرٍّ مفر، مقبل،
مدبر معا كجلمود صخر حطه السيل من
عل
مكرٍّ
مفر، مقبل، مدبر معا sebagai musyabbah
ك sebagai adat at-Tasybih
جلمود صخر حطه
السيل من عل sebagai
musyabbah bih
·
” أيطلا ظبي”; kata أيطلا sebagai musyabbah
dan kata ظبي
sebagai musyabbah bih. “ساقا نعامة” kata ساقا sebagai musyabbah
dan kata نعامة
sebagai musyabbah bih. “إرخاء سرحان” kata إرخاء sebagai musyabbah
dan kata سرحان
sebagai musyabbah bih. “تقريب تنفل” kata تقريب sebagai musyabbah,
dan kata تنفل
sebagai musyabbah bih. Disini kudanya Imrul al-Qoisy, pinggangya diumpamakan
seperti pinggangnya beruang, kakinya yang panjang dan keras diumapamakan
seperti kaki burung unta, larinya yang ringan diumpamakan seperti larinya srigala. Dan apabila berlari kencang dengan mengangkat kedua
kaki depannya diumpamakan seperti larinya serigala liar.
·
دَرِيْرٍ
كَخُذْرُوفِ الوليد أمرَّهُ; kata دَرِيْر sebagai musyabbah, كَ
sebagai adatus tasybih, dan خُذْرُوفِ الوليد أمرَّهُ sebagai musyababah bih.
2)
Memperindah
ma’na ( محسنات معنوية )
محسنات معنوية ini terbagi menjadi beberapa bagian, tetapi
disini hanya disebutkan yang sesuai dengan syi’ir diatas:
i.
At-Tauriyah
( التورية ), adalah menyebutkan lafadz yang mempunya
dua ma’na, yakni ma’na قريب dan ma’na بعيد
Pada syi’ir diatas ditemukan dari kalimat :
يُزِلُّ الغُلام الخِفَّ عن
صَهـَــوَاتِه, Kata
الخف arti dekatnya ringan, disesuaikan dengan
konteks tersebut sehingga mempunyai ma’na jauh “kurus”.
ii.
At-Thibaq
( الطباق ), adalah mengumpulkan dua ma’na yang saling
berbandingan/ berlawanan.
Pada syi’ir diatas ditemukan pada syi’ir :
يُزِلُّ الغُلام الخِفَّ عن صَهـَــوَاتِه # ويُلْوِى بأَنْوَابِ
العَنيفِ المُثقَّل
Kata الخف berlawanan dengan kata بأَنْوَابِ العَنيفِ
d.
Luapan
Emosional ( العاطفة )
Ungkapan
syi’ir di atas berbentuk takbiir artinya melebih-lebihkan atau
membesa-besarkan. Syi’ir ini berawal ketika Imru’l al Qoisy pergi berburu ketika burung-burung masih
tidur disangkarnya, beliau menjalankan kudanya dengan laju yang sangat cepat.
Sedemikian rupa selama dalam melajukan
kudanya, sehingga akhirnya beliau membentuk syi’ir yang begitu indah teruntuk
kuda yang ditungganginya. Letak takbiirnya dimulai pada ba’it pertama shodrul
ats-stani (بمعجرد قيد،
الآوابد هــيكل) sampai
pada ba’it terakhir, dimana Imru’ul Qais mentakbiirkan kudanya mulai dari
bentuk kudanya, bagaimana laju kudanya yang diungkapkan dengan sangat detail
sebagaimana syi’ir diatas.
III.
KESIMPULAN
Dari
ketujuh syi’ir Imru al-Qoisy yang menggabarkan kudanya dengan ungkapan yang
begitu indah, penulis dapat menyatakan bahwa dari sisi gaya bahasa yang dipakai
pada syi’ir tersebut tergolong susah karena banyak sekali kata yang tidak
sesuai dengan arti aslinya dan butuh penjelasan arti lain. Jika dilihat dari
segi balaghohnya, syi’ir tersebut menggunakan bentuk tasybih dan muhsinatu ma’nawiyah,
sedangkan secara uapan emosional syi’ir tersebut menunjukkan takbiir.
Demikian
kekuatan Imru’ul Qais dapat kita lihat dari bobot syi’irnya. Semoga berawal
memahami syi’ir Imru’ul Qais dapat menggugah bakat dan minat kita untuk selalu
ingin berkarya dengan menciptakan syi’ir-syi’ir yang begitu indah sehingga
mampu menerobos dunia.
Makalah
ini sudah tentu banyak kesalahan dan kekurangan-kekurangan, untuk itu kepada
pembaca kami mohon saran dan kritik pada makalah ini untuk perbaikan pada
makalah ini.